Psikolinguistik: Analisis Persepsi Bunyi yang Dihasilkan Anak
Usia 2 Tahun 3 Bulan
(oleh Astri Yuniati dkk)
Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi antarsesama manusia. Menurut Soenjono (2005), bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbirter yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarsesamanya berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Salah satu cabang ilmu yang mempelajari bahasa adalah psikolinguistik.
Psikolinguistik adalah ilmu yang merupakan gabungan dari dua ilmu, ilmu psikologi dan ilmu linguistik. Dalam psikolinguistik, masalah linguistik dapat kita telaah dengan menggunakan ilmu psikologi dan masalah psikologi juga dapat ditelaah dengan menggunakan ilmu linguistik. Karena merupakan gabungan dari dua ilmu tersebut, psikolinguistik memiliki cabang ilmu yang cukup banyak. Salah satu cabang ilmu dari psikolinguistik adalah bahasan mengenai persepsi ujaran. Lebih lanjut, menurut Soenjono (2005), persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Selain itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di mana bunyi itu berada. Terlepas dari itu, psikolinguistik juga mempelajari proses-proses mental yang dilalui manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud. Pada lingkup ini kadang manusia mengalami banyak kendala dalam proses produksi bahasa. Jika pada orang dewasa kesalahan dalam hal produksi bahasa kebanyakan dapat dikategorikan sebagai kesalahan persepsi, tetapi mungkin hal serupa berlaku pada proses produksi yang terjadi pada anak-anak.
Banyak hal yang dapat menyebabkan bentuk ujaran atau bunyi bahasa akan manjadi salah ketika diucapkan. Hal ini mengakibatkan ujaran tersebut akan menjadi sulit dipahami dan diketahui maksudnya. Kesalahan ujar tersebut selain pada anak-anak juga dialami oleh orang dewasa. Bagaimana penjelasan ilmiah mengenai kesalahan ujaran tersebut? Masalah mengenai kesalahan ujaran yang dihasilkan oleh seorang anak pada data yang kami peroleh menjadi bahan untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut dalam makalah kali ini.
Landasan Teori
Seorang anak tentu saja tidak akan langsung dapat menguasai bahasa ibunya. Anak-anak harus melalui proses untuk dapat menguasai bahasa tersebut. Proses seorang anak untuk belajar menguasai bahasa ibunya disebut pemerolehan bahasa (Dardjowidjojo, 2008: 225).
Proses pemerolehan bahasa ini dibagi menjadi tiga, yaitu pemerolehan dalam bidang fonologi, sintaksis, dan leksikon (Dardjowidjojo, 2008: 244—258). Proses pemerolehan bahasa juga mencakup komprehensi dan produksi. Pada anak-anak, kemampuan untuk memahami apa yang dikatakan orang jauh lebih cepat dan jauh lebih baik daripada proses produksinya (Darjdowidjojo, 2008: 243). Oleh karena itulah, anak-anak yang belum dapat berbicara (memproduksi bahasa) sudah dapat mengerti apa yang dikatakan orangtuanya. Hal inilah yang disebut dengan istilah mempersepsi ujaran. Lebih lanjut, persepsi itu sendiri diartikan sebagai suatu perangkat proses yang memungkinkan kita untuk mengenali, mengatur, dan menangkap stimuli dalam lingkungan kita. Persepsi dapat juga diartikan sebagai sejauh mana dan apa yang dipersepsikan seseorang berhubungan dengan pola-pola yang spesifik yang merupakan bentuk adaptasi dari pengalaman manusia.
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan karena dalam ujaran tidak ada jeda yang jelas antara satu kata dengan kata lain. Selain itu suatu bunyi tidak diujarkan persis sama tiap kali bunyi itu diucapkan. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan lingkungan ujaran tersebut diucapkan. Oleh karena hal-hal tersebut, pada anak-anak yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan juga fisiologis, kegiatan mempresepsikan ujaran adalah hal yang tidak mudah untuk dilakukan.
Terlepas dari itu, proses anak-anak memproduksi bahasa dimulai dengan bunyi-bunyi yang mirip bunyi konsonan atau vokal atau yang biasa disebut cooing pada umur sekitar 6 minggu. Kemudian diteruskan dengan babbling yang merupakan campuran satu konsonan diikuti satu vokal. Sampai umur tiga tahun, seorang anak bahkan belum dapat mengucapkan gugus konsonan (Dardjowidjojo, 2008: 245). Bunyi konsonan yang dikuasai lebih belakangan biasanya adalah bunyi-bunyi afrikat dan getar. Biasanya, bunyi afrikat telah dapat dikuasai setelah anak-anak dapat mengucapkan [k] dan [g]. Setelah itu, anak akan mulai berujar dengan ujaran dua kata menjelang umur 2 tahun dan akhirnya sekitar umur 4—5 tahun anak biasanya akan dapat berkomunikasi dengan lancar. Lebih lanjut, Menurut Soenjono (2000), seorang anak yang berusia dua tahun umumnya telah dapat menguasai semua fonem vokal bahasa Indonesia. Variasi alofonik dari setiap fonem sudah mulai terdengar pada usia tersebut, kecuali dalam menyebut diftong, seperti [au] yang sering diucapkan sebagai [o]. Sementara itu, pada bagian konsonan, anak berusia dua tahun telah mampu menguasai bunyi konsonan bilabial dan alveolar secara teratur dengan konsonan ringan/tak bersuara [p] dan [t] terlebih dahulu sedangkan konsonan velar [k] dan [g] sama sekali tidak muncul, kecuali [k] pada akhir kata, yang menyerupai glotal. Pada awal atau tengah kata, kedua bunyi tersebut diganti dengan bunyi hambat yang lain atau dihilangkan sama sekali.
Di samping itu, untuk bunyi frikatif [s] hanya muncul bila bunyi itu berada pada akhir kata, pada awal kata bunyi tersebut belum muncul. Demikian juga halnya dengan bunyi frikatif glotal [h]. Untuk bunyi [ĉ] sering diganti dengan bunyi hambat [t] kemudian semacam [ts]. Sementara itu, konsonan nasal yang sudah sangat baik dikuasai anak usia dua tahun adalah [m] dan [n], baik pada posisi awal, tengah, maupun akhir kata. Bunyi nasal velar [ŋ] sudah muncul tetapi masih terbatas pada akhir suku kata sedangkan bunyi nasal palatal [ñ] belum muncul dan diganti dengan bunyi [n].
Selain itu, bunyi getar [r] juga belum muncul dan sering diganti dengan bunyi lateral [l]. Demikian juga pada gugus konsonan dan gugus vokal belum muncul pada anak usia tersebut. Namun, pada bunyi semivokal [w] dan [y] tidak ada masalah.
Berikut adalah pola umum pergantian atau pergeseran bunyi pada anak usia dua tahun yang dikemukakan oleh Soenjono.
1. Pada awal atau tengah kata, konsonan hambat velar ringan diganti dengan hambat alveolar ringan, [k] à [t]. Pada akhir kata, bunyi ini tidak diganti.
2. Pada awal dan tengah kata, konsonan hambat velar berat diganti dengan hambat alveolar ringan, kemudian hambat alveolar berat, [g] à [t] à [d]. Pada posisi akhir kata bunyi ini belum muncul.
3. Pada posisi awal kata, konsonan frikatif alveolar ringan dilesapkan atau diganti oleh hambat alveolar ringan [t] dan kemudian [ts] – [s] à [-]/[t] à [ts]. Pada posisi akhir kata bunyi tersebut belum muncul.
4. Nasal palatal diganti dengan nasal alveolar, [ñ] à [n] sedangkan nasal velar [ŋ] terbatas hanya pada akhir kata.
5. Konsonan getar diganti dengan bunyi lateral, [r] à [l].
6. Diftong konsonan dijadikan tidak diftong dengan mempertahankan bunyi yang lebih mudah.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Soenjono, tampaknya sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Jakobson mengenai teori universal perkembangan fonologi pada anak, seperti terlihat dalam tabel berikut.
i u
e ә o
ε ¿
a
Fonem Vokal Umur Dua Tahun
Titik/Cara Artikulasi | Bilabial | alveolar | Alveo-palatal | Velar | Glotal |
Hambat | p b | t d |
| (k) (g) | Ö |
Frikatif |
|
| (s) |
| h |
afrikat |
|
|
|
|
|
Nasal | m | n |
| (ŋ) |
|
Getar |
|
|
|
|
|
Lateral |
| l |
|
|
|
Semivokal | w |
| y |
|
|
Fonem Konsonan Umur Dua Tahun
Catatan: ( ) belum muncul atau baru muncul secara terbatas
Selain pola-pola yang dikemukakan oleh Soenjono, dalam makalah ini kami juga mengemukakan pola pergantian dan penggeseran bunyi yang ditulis oleh William O’Grady dalam bukunya yang berjudul How Children Learn Language sebagai berikut.
1. Deletion (penghilangan atau elisi), yaitu menghilangkan bunyi konsonan.
Contoh: [r] → [-]
2. Subtitution (penggantian)
a. The stop process yaitu proses penggantian bunyi konsonan atau bunyi terbuka dengan bunyi tertutup atau hambat.
Contoh: [s] → [t], [z] → [d]
b. The gliding process
Pada proses ini bunyi konsonan getar dan latearal digantikan oleh bunyi luncur atau semi vokal.
Contoh: [l] → [y], [l] → [w], [r] → [w]
c. The denasalization process yaitu proses penggantian bunyi nasal dengan bunyi yang tidak nasal.
Contoh: [m] → [b], [n] → [d]
d. The fronting process
Pada proses ini bunyi konsonan atau bunyi yang menggantikan merupakan bunyi-bunyi depan (bilabial, labiodental, dan alveolar).
Contoh: [th] → [f], [sh] → [s], [j] → [dz], [g] → [d]
3. Asimilation (asimilasi)
Asimilasi terjadi karena pengaruh lingkungan
Contoh: [p] → [b], [t] → [d], [k] → [g], [f] → [v], [s] → [z]
Analisis Persepsi Bunyi yang dihasilkan
Anak Umur 2 tahun 3 bulan
K a n p u t r i a u r o r a m a s i h b a y i T a n p u t i o l o l a m a t i h b a y i
T r u s a d a n e n e Ö s i h i r T u s a d a n e n e t i h i y
T r u s k ə t ə m u p ə r i T u s t u t u m u p u l i
P ə r i p ə r i ň a b i s a t ə r b a ŋ P u l i p u l i n a b i s a t u b a ŋ
T r u s d i a i k u t s a m a p ə r i p ə r i ň a T u s d i a i t u t t a m a p u l i p u l i n a
T r u s k ə t ə m u p a ŋ e r a n ň a T u s t u t u m u p a n e l a n a
Berdasarkan data di atas terlihat adanya persepsi yang berbeda antara bunyi yang diujarkan oleh orang dewasa dengan persepsi bunyi yang dihasilkan oleh anak batita yang berumur 2;3:0, seperti pada kasus di atas. Si anak tampaknya sering kali melakukan pensubstitusian, baik yang berupa bunyi vokal, maupun bunyi konsonan. Hal ini dapat dilihat dari uraian berikut ini.
[k]à [t] hambat velar menjadi hambat alveolar
[r]à [l], [y], dan [Ø] getar menjadi lateral, semivokal, dan tidak muncul.
[Ö] à [Ø] hambat glotal menjadi tidak muncul.
[au] à [o] diftong menjadi vokal belakang (tak diftong)
[s] à [t] (di awal dan di tengah kata) frikatif menjadi hambat alveolar
[ә] à [u] vokal tengah menjadi vokal belakang
[ñ] à [n] nasal palatal menjadi nasal alveolar
[ŋ] à [n] (jika di tengah kata) nasal velar menjadi nasal alveolar
Dari kasus di atas ditemukan fakta bahwa si anak tersebut mempersepsikan bunyi hambat velar ringan/tak bersuara [k] sebagai bunyi hambat alveolar ringan [t], hal ini terlihat pada kata yang oleh orang dewasa diucapkan [kan] dalam kasus ini diucapkan [tan], begitu juga pada kata ketemu (bertemu) diucapkan menjadi [tutumu] dan kata ikut menjadi [itut].
Di samping itu, si anak mempersepsikan bunyi getaran [r] menjadi tiga macam bunyi, yakni bunyi lateral [l], bunyi semivokal [y], dan bahkan bunyi tersebut hilang sama sekali. Perpindahan atau pergeseran bunyi getaran [r] menjadi bunyi lateral [l] tersebut dapat ditemui pada kata peri yang diucapkan menjadi [puli] dan kata aurora yang diucapkan menjadi [olola], sedangkan perpindahan bunyi getaran [r] menjadi bunyi semivokal [y] terdapat pada kata sihir yang diucapkan menjadi [tihiy]. Sementara itu, bunyi getaran [r] yang hilang sama sekali ditemukan pada kata terbang yang oleh anak tersebut diucapkan [tubaŋ] dan kata putri diucapkan menjadi [puti].
Bunyi hambat glotal [Ö] pada kata nenek yang harusnya diucapkan [neneÖ], oleh si anak diucapkan menjadi [nene] dengan menghilangkan bunyi hambat glotal [Ö]. Hal ini menurut kami terjadi karena pemahaman mereka masih terbatas pada bunyi tersebut.
Lebih lanjut, pada contoh kasus di atas, anak tersebut juga tampaknya belum bisa mengucapkan bunyi diftong atau deret vokal yang diucapkan dalam satu suku kata. Anak tersebut mempersepsikan bunyi diftong [au] menjadi [o]. Hal ini terdapat pada kata aurora yang diucapkan menjadi [olola]. Pergeseran bunyi tersebut diperkirakan karena adanya kedekatan fonetik, dan si anak cenderung mengambil atau memilih bunyi yang cenderung lebih mudah untuk diucapkan. Demikian pula halnya dengan deret konsonan, oleh si anak tersebut kata putri diucapkan menjadi [puti]. Lebih lanjut, menurut Soenjono (2000) pada umumnya gugus konsonan belum muncul sampai si anak berumur tiga tahun. Walaupun ada, kedua konsonan itu biasanya berupa bunyi-bunyi homorganik. Adapun untuk bunyi frikatif [s] hanya muncul jika bunyi itu berada pada akhir kata, seperti pada kata trus (terus) diucapkan [tus]. Sementara itu, jika bunyi frikatif [s] berada pada awal atau tengah kata bunyi tersebut digantikan oleh bunyi hambat alveolar [t], yakni pada kata bisa, sama, dan masih masing-masing diucapkan menjadi [bita], [tama], dan [matih].
Terlepas dari itu, di dalam teori di atas disebutkan bahwa anak usia dua tahun umumnya sudah dapat mengucapkan bunyi-bunyi vokal bahasa Indonesia, namun tidak demikian halnya dengan kasus yang terjadi di sini. Bunyi vokal tengah [ә] sering kali diucapkan menjadi bunyi vokal belakang [u]. Hal ini terlihat pada kata terbang yang diucapkan menjadi [tubaŋ], peri yang diucapkan menjadi [puli], dan kata ketemu (bertemu) yang diucapkan menjadi [tutumu].
Selanjutnya, oleh anak berusia dua tahun ini bunyi nasal palatal [ñ] juga cenderung diucapkan dengan nasal alveolar [n], yakni terdapat pada kata peri-perinya dan pangerannya yang masing-masing diucapkan menjadi [puli-pulina] dan [panelana], sedangkan nasal velar [ŋ] hanya muncul terbatas pada akhir kata, di tengah kata tidak muncul. Kata terbang dapat diucapkan menjadi [tubaŋ] sementara kata pangerannya hanya diucapkan menjadi [panelana].
Berdasarkan uraian di atas, selanjutnya, kami akan mengklasifikasikan data yang telah ditemukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh William O’Grady dalam bukunya yang berjudul How Children Learn Language mengenai pola pergantian dan penggeseran bunyi sebagai berikut.
1. Elisi (deletion)
[r] à [Ø]
[Ö] à [Ø]
[ñ] à [Ø]
2. Subtitusi atau penggantian
a. The stopping process
[s] à [t]
[r] à [l]
b. The glidding process
[r] à [y]
c. The fronting process
[ñ] à [n]
[ŋ] à [n] (jika di tengah kata)
[k] à [t]
d. Kasus substitusi lain
[au] à [o]
[ә] à [u]
Pola-pola pergantian, maupun pergeseran yang dilakukan oleh si anak yang berumur 2;3;0 dalam mempersepsikan bunyi yang mencakup elisi (deletion), substitusi (the stopping process, the glidding process, the fronting process), dan kasus substitusi lainnya menurut kami disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tingginya derajat kesukaran bunyi tersebut diujarkan mengakibatkan si anak cenderung mencari bunyi yang mudah untuk diujarkan sekaligus dekat secara fonetis. Hal ini seperti ditemui pada bunyi [l] yang menggantikan bunyi [r] yang dipersepsikan oleh si anak.
Kedua, posisi bunyi dalam kata tersebut. Terlihat dalam data bahwa si anak belum mampu untuk mengucapkan bunyi frikatif [s] yang berada pada awal atau tengah kata. Kami menganalisis, kesulitan yang dialami oleh si anak untuk mengucapkan bunyi frikatif [s] yang berada pada awal atau tengah kata disebabkan oleh pengaruh lingkungan fonologisnya.
Terakhir, ketidakmampuan si anak untuk mengucapkan bunyi tertentu disebabkan oleh keterbatasan fisiologisnya. Pergeseran dari satu bunyi ke bunyi yang lain, sampai akhirnya si anak dapat mengucapkan suatu bunyi dengan tepat dan baik, selaras dengan kemampuan fisiologisnya yang semakin baik. Namun, perlu diingat bahwa kemampuan fisiologis ini tidak diukur berdasarkan usia.
Lebih lanjut, menurut Elsen dalam Soenjono dikatakan bahwa peluasan makna dapat pula dipengaruhi oleh kesukaran fonologis. Levelt dalam Soenjono menambahkan bahwa struktur segmental kata juga bisa menjadi kendala; demikian pula Geirut dalam Soenjono menunjukkan bahwa pemunculan suatu bunyi dapat pula dipengaruhi oleh kendala leksikal.
Terlepas dari itu, seperti halnya yang dikemukakan oleh Jakobson mengenai pemerolehan konsonan dan vokal anak umur dua tahun, tampaknya juga senada dengan apa yang ditemukan dalam data. Hal ini seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel Kencenderungan Konsonan pada anak umur 2 tahun tiga bulan
Titik/Cara Artikulasi | Bilabial | alveolar | Alveo-palatal | Velar | Glotal |
Hambat | p | t d |
|
|
|
Frikatif |
|
| (s) |
| h |
afrikat |
|
|
|
|
|
Nasal | m | n |
| (ŋ) |
|
Getar |
|
|
|
|
|
Lateral |
| l |
|
|
|
Semivokal |
|
| y |
|
|
Catatan: ( ) belum muncul atau baru muncul secara terbatas
Tabel Kecendrungan vokal
| Depan | Pusat | Belakang |
Atas | i |
| u |
Tengah | e |
| o |
Bawah | a |
|
|
Berdasarkan uraian di atas, lebih lanjut kita bisa membuat pola pergantian dan pergeseran bunyi anak usia 2 tahun dalam mempersepsikan bunyi seperti yang telah dikemukakan oleh Soenjono dalam landasan teori yang telah diungkapkan di atas.
Pola pergantian dan pergeseran bunyi anak usia 2 tahun dalam mempersepsikan bunyi sebagai berikut:
(1) Pada awal atau tengah kata, konsonan hambat velar ringan diganti dengan hambat alveolar ringan—[k] > [t]. Pada akhir kata, bunyi ini tidak diganti.
(2) Konsonan getar diganti dengan konsonan lateral atau semivokal, atau bahkan dihilangkan—[r] > [l] / [y] / [Ø].
(3) Pada posisi awal dan tengah kata, konsonan frikatif diganti dengan konsonan hambat alveolar—[s] > [t]. Pada akhir kata bunyi ini tidak diganti.
(4) Nasal palatal diganti dengan nasal alveolar atau bahkan hilang—[ñ] > [n] / [Ø].
(5) Pada posisi tengah kata, nasal velar diganti dengan nasal alveolar—[ŋ] >[n]. Pada akhir kata bunyi ini tidak diganti.
(6) Deret konsonan atau gugus konsonan dijadikan tak bergugus dengan mempertahankan bunyi yang lebih mudah—[tr] > [t].
(7) Gugus vokal atau diftong dijadikan tak-diftong—[au] > [o].
Penutup
Psikolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik mencoba memapaparkan fenomena keterkaitan antara proses-proses mental yang dilalui manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud dengan bahasa sebagai senjata utamanya. Ada banyak hal yang menarik untuk dianalisis dalam cabang ilmu linguistik ini, salah satunya yakni mengenai persepsi bunyi. Terlebih persepsi bunyi yang dihasilkan oleh anak batita dengan berbagai macam keterbatasannya sehingga menghasilkan bunyi-bunyi yang bisa dikatakan unik dan terkadang jauh dari apa yang dipersepsikan oleh orang dewasa.
Berdasarkan data yang kami analisis, kami menemukan kecenderungan-kecenderungan pola persepsi bunyi yang dihasilkan anak, dalam hal ini anak yang berusia 2 tahun 3 bulan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut di antaranya, terlihat adanya pengelisian (deletion) dan penggantian (substitution) yang mencakup pula the stopping process, the glidding process, the fronting process, serta kasus substitusi lainnya.
Kecenderungan pola-pola yang dihasilkan tersebut tentunya disebabkan oleh kesulitan yang dihadapi si anak dalam mempersepsikan bunyi. Kesulitan ini tentunya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, tingginya derajat kesukaran bunyi tersebut diujarkan mengakibatkan si anak cenderung mencari bunyi yang mudah untuk diucapkan sekaligus dekat secara fonetis. Kedua, posisi bunyi dalam kata tersebut, dan terakhir keterbatasan dari segi fisiologis si anak.
Daftar Pustaka
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kushartanti, dkk. (ed-). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
O’Grady, William D. 2007. How Children Learn Language. New York: Cambridge University Press.