Selasa, 07 Juni 2011

Bahasa dan Gender

laporan bacaan sosiolinguistik waktu kuliah dulu…

Perbedaan Gender dalam Penggunaan Bahasa

Bahasa dan Posisi Perempuan
           Studi pertama yang menjadi pelopor penelitian akan penggunaan bahasa berdasarkan jenis kelamin dilakukan oleh Robert Lakoff. Hasil penelitiannya terdapat dalam bukunya yang berjudul Language and Woman’s Place. Menurut Lakoff, bahasa perempuan mempengaruhi pendeskripsian karakterisitik perempuan. Ia menyatakan bahwa perempuan cenderung menghindari ungkapan atau kata-kata yang bersifat meremehkan atau negatif. Hal ini disebabkan oleh kaum perempuan yang cenderung lebih hormat terhadap pemakaian bahasa. Ada enam kategori dalam penggunaan bahasa dilihat dari perbedaan jenis kelamin. Enam kategori tersebut, yaitu perbedaan kata yang digunakan, perlawanan antara seruan yang kuat dengan yang lemah, adjektiva netral dan adjektiva perempuan, label pertanyaan, intonasi pertanyaan dengan kaidah sintaksis, dan kekuatan perilaku bahasa.
perempuan lebih mengontrol percakapan
            Perempuan menolak untuk menggunakan seruan yang kuat. Mereka mengungkapkan seruan dengan ungkapan yang lebih sopan—disebut Lakoff “lemah”. Ada semacam legalitas terhadap kaum laki-laki untuk mengungkapkan kata atau ungkapan yang kuat atau kasar. Hal ini dapat disebabkan oleh posisi perempuan dalam kehidupan sosial, yaitu posisi yang selalu menuntut untuk berperilaku biasa-biasa saja dan tidak menonjol. Dalam hal penggunaan adjektiva yang netral dan adjektiva perempuan, Lakoff menyatakan bahwa laki-laki cenderung menggunakan ajektiva netral, sedangkan perempuan cenderung menggunakan keduanya.
            Dari segi sintaksis, Lakoff percaya konstruksi sintaksis yang lebih bebas digunakan perempuan adalah penggunaan bentuk label pertanyaan. Label pertanyaan ini dilampirkan ke dalam pertanyaan dengan mengambil elemen penunjang kalimat dari frase verbal, mengganti  bentuk negatifnya, memilih pronomina yang cocok dengan subjek pernyataan, serta membuat pertanyaan dari pernyataan tersebut. Penggunaan bentuk label pertanyaan yang lebih pada perempuan ini disebabkan oleh perempuan yang cenderung tidak yakin dengan akan opini mereka dalam sebuah percakapan. Label pertanyaan tersebut dijadikan semacam penegasan. Kesimpulan yang kemudian Lakoff ambil adalah bahwa diskriminasi perempuan dalam hal pengalaman lingusitik terdapat dalam dua hal. Dua hal tersebut yaitu cara mereka menggunakan bahasa dan cara yang umum bahasa memperlakukan mereka.

Percakapan antara Perempuan dan Laki-Laki
            Penelitian yang kemudian dilakukan dalam studi interaksi adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki. Candace West dan Don Zimmerman mengembangkan definisi dari ‘interupsi’. Interupsi ini berhubungan dengan kontrol dalam pengembangan topik. Menurut West dan Zimmerman, perempuan cenderung lebih mengembangakan topik dalam sebuah percakapan, sedangkan laki-laki cenderung tidak terlalu mengambil alih dalam sebuah percakapan. Mereka hanya menggunakan berbagai macam bentuk interupsi. Oleh sebab itu, percakapan akan lebih panjang apabila perempuan terlibat di dalamnya.
            Pamela Fishman menemukan bukti bahwa perempuan lebih mengontrol percakapan dibandingkan laki-laki. Perempuan menggunakan strategi yang lebih jauh dibandingkan laki-laki untuk memperluas kesempatan mereka—perempuan—bahwa apa yang mereka katakan akan disertakan dalam percakapan tersebut. Robin Lakoff kemudian menemukan bahwa perempuan lebih banyak menyatakan pertanyaan. Laki-laki menyatakan respon yang lebih sedikit karena mereka menolak untuk mengikuti topik yang perempuan kembangkan dalam percakapan antargender. Kesimpulannya, sedikitnya respon yang dilakukan oleh laki-laki terhadap topik dalam sebuah percakapan, memperlihatkan bahwa perempuan tidak berhasil untuk membuat topik percakapan yang mereka kembangkan menjadi menarik.

2 komentar:

  1. Kalau menurut pengalamanku yak,
    1. Semakin sedikit pengikut proses pembahasan dan pengambilan keputusan/kebijakan akan lebih efektif dan fokus kepada tujuan utamanya. Kenapa? Karena resiko untuk bias dan pengembangan yang berlebihan akan dapat diminimalkan. Tentu saja dengan catatan bahwa peserta proses harus dari kalangan yang kompeten dan memahami lingkup bahasan. Selain itu ego individu juga dapat ditekan.
    2. Laki-laki cenderung praktis dan logis. Gambaran idealnya adalah sebagaimana Pendekatan Critical PERT. Tentu saja atribut kelengkapan dan resiko pelaksanaan tugas akan dipertimbangkan. Nah, peran perempuan cenderung kepada hal-hal rinci dan operasional administratif. Perempuan lebih terampil dalam detil dan urutan. Kedua pendekatan tersebut cenderung kontradiktif namun memiliki potensi sinergi konstruktif.

    Bukannya anti emansipasi, namun sekiranya sama-sama dewasa dan bijaksana (jelas susah nih) sebenarnya laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik yang kontras. Hal tersebut pada sebagian tempat sudah dilakukan pembagian peran. Memang untuk sebagian perempuan memiliki kompetensi karakteristik yang lebih tinggi dari rata-rata laki-laki. Dan itu akan penting untuk diberdayakan. Namun sekali lagi, agar menjadi catatan bahwa repersentasi secara umum dalam pengambilan keputusan dan kebijakan akan tetap lebih efektif bila dititik-beratkan pada esensi masalah, kompetensi dan moral individu, bukan jumlah (gender) yang diwakili.

    BalasHapus
  2. in my opinion.. (ca ilah :P)

    1. betul apa yg dikatakan Bpk. Haris Maris (lho?) bahwa laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik yang kontras, hal tersebut didukung dengan perbedaan cara berpikir dan cara pengungkapan pemikiran mereka.
    Cara berpikir (sesuai yg disampaikan Pa Haris), laki-laki cenderung lebih logis dan praktis, sedangkan perempuan lebih terampil dalam detil dan urutan. Cara pengungkapan pemikiran, dilihat dari perbedaan bahasa (baca: kosakata dan kelas kata) yang mereka ungkapkan; mencakup 6 kategori, seperti perbedaan kata yang digunakan, perlawanan antara seruan yang kuat dengan yang lemah, adjektiva netral dan adjektiva perempuan, label pertanyaan, intonasi pertanyaan dengan kaidah sintaksis, dan kekuatan perilaku bahasa.

    2. mengenai pernyataan:
    "Semakin sedikit pengikut proses pembahasan dan pengambilan keputusan/kebijakan akan lebih efektif dan fokus kepada tujuan utamanya karena resiko untuk bias dan pengembangan yang berlebihan akan dapat diminimalkan, dengan catatan bahwa peserta proses harus dari kalangan yang kompeten dan memahami lingkup bahasan"
    Itu juga bisa diterima dan cukup benar..namun, konteks pembahasan dlm laporan bacaan di atas ialah saat berada dalam suatu forum diskusi yg cukup besar, melibatkan sejumlah peserta dr berbagai latar belakang; HANYA dilihat perilaku pemakaian bahasa antara kedua gender tersebut.
    Dlm komunikasi besar itu (menurut penelitian yg dilakukan West dan Zimmerman) terlihat bahwa perempuan cenderung lebih mengembangakan topik dalam sebuah percakapan, sedangkan laki-laki cenderung tidak terlalu mengambil alih dalam sebuah percakapan.
    Hal itu tidak didasarkan pada tingkat kekompetenan seseorang (atau gender) dalam memahami lingkup bahasan, tetapi lebih kepada cara pengungkapan pemikiran lewat bahasa secara verbal.

    3. kalau mengenai masalah pengambilan keputusan atau kebijakan tentu siapapun setuju dengan menitikberatkan (pilihan kata fav. pak haris) pada esensi masalah, kompetensi, serta moral individu, bukan berdasarkan pada jumlah gender yang diwakilkan ataupun secara subjektif.

    trims atas komennya^^

    BalasHapus