Penelitian Linguistik Historis Komparatif: Kekerabatan Bahasa Daerah Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Ponianak, dan Bangka Belitung
(oleh: Astri Yuniati)
Sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam suku bangsa dan adat-istiadat, tentu Indonesia juga memiliki penduduk dan bahasa daerah yang beragam pula. Namun, bahasa-bahasa daerah yang hidup dewasa ini di Nusantara tidaklah muncul begitu saja seperti yang sekarang ini kita lihat. Sebelum sampai pada bentuknya yang sekarang, sudah pasti bahasa-bahasa tersebut mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang dari bahasa asal atau bahasa proto yang yang menjadi induk/cikal bakal terbentuknya bahasa-bahasa lainnya. Hal ini mengakibatkan kosakata bahasa-bahasa daerah tertentu cenderung memiliki kesamaan ciri, baik dari segi fonem maupun morfemnya dengan bahasa daerah lainnya. Oleh sebab itu, tidaklah heran jika suatu bahasa daerah tertentu memiliki beberapa kosakata dasar—perbendaharaan kata dasar atau basic vocabulary yang meliputi kata ganti, kata bilangan, kata-kata mengenai anggota badan (dan sifat atau aktivitasnya), alam dan sekitarnya, serta alat-alat perlengkapan sehari-hari—yang sama atau mirip dengan kosakata dasar bahasa daerah lainnya di Nusantara.
Dari kesamaan atau kemiripan kosakata dasar tersebut, ada suatu gejala yang dinamakan kekerabatan bahasa. Kekerabatan bahasa ialah bahasa-bahasa yang masih memiliki kemiripan kosakata, yang dilihat baik secara fonologis maupun secara morfologis karena masih berasal dari bahasa proto yang sama. Dalam menetapkan kekerabatan bahasa, perlu dilihat pula hubungan kata-kata yang berkerabat di antara bahasa-bahasa yang akan diteliti atau bahasa-bahasa yang menjadi objek penelitian. Kata-kata yang sama dalam sebuah pasangan akan dinyatakan sebagai kata kerabat (cognat) sedangkan kata-kata yang berbeda akan ditetapkan sebagai kata yang nonkerabat (Keraf, 1996: 128).
Dalam penelitian ini akan dibahas tujuh bahasa daerah di Nusantara—yakni bahasa daerah di Bangka Belitung desa Toboali, bahasa di Aceh desa Lhokseumawe, bahasa di Jawa Barat desa Cimahi, bahasa di Jawa Tengah desa Kotoarjo, bahasa di Pontianak desa Saigon, dan bahasa di Alor desa Pura dan desa Adang—dengan 100 kosakata dasar pertama (lihat lampiran). Alasan dipilihnya ketujuh daerah dan desa tersebut ialah karena masing-masing daerah dan desa tersebut dekat dengan jangkauan penulis serta informasinya mudah didapatkan penulis.
Adapun sebuah pasangan kata akan dinyatakan sebagai kata kerabat, yakni bila pasangan tersebut memenuhi salah satu ketentuan, seperti pasangan itu identik atau pasangan kata yang semua fonemnya sama persis.
Contoh:
Gloss Jawa Barat (Cimahi) Jawa Tengah (Kutoarjo)
ayah [bapa?] [bapa?]
angin [aŋin] [aŋin]
awan [awan] [awan]
cuci [ŋumbah] [ŋumbah]
Kata ayah di sini dalam bahasa di Jawa Barat (Cimahi) berbunyi [bapa?] dan dalam bahasa di Jawa Tengah (Kutoarjo) pun berbunyi [bapa?] sehingga dapat dilihat bahwa dari kedua bahasa daerah tersebut memiliki pengucapan atau bunyi yang sama dalam menyebut kata ayah. Begitu pula dengan kata angin yang keduanya menyebut [aŋin], kata awan yang keduanya pun menyebut [awan], kata cuci yang keduanya menyebut [ŋumbah], dan seterusnya.
Selain itu, kata tersebut dianggap berkerabat bila pasangan kata itu memiliki korespondensi fonemis, yakni bila perubahan fonemis antara kedua bahasa tersebut terjadi secara timbal-balik dan teratur, serta tinggi frekuensinya.
Contoh:
Gloss Pontianak (Saigon) Jawa Tengah (Kutoarjo)
abu [abu] [awu]
batu [batu] [watu]
bulu [bulu] [wulu]
Dalam hal ini, fonem /b/ pada bahasa di Pontianak (Saigon) terucap dengan fonem /w/ di daerah Jawa Tengah (Kutoarjo), seperti kata abu diucapkan [abu] di Pontianak (Saigon) sementara di Jawa Tengah (Kutoarjo) diucapkan [awu], kata batu di Pontianak (Saigon) diucapkan [batu] sementara di Jawa Tengah (Kutoarjo) diucapkan [watu], dan kata bulu di Pontianak (Saigon) diucapkan [bulu] sementara di Jawa Tengah (Kutoarjo) diucapkan [wulu]. Kemunculan tersebut ditemukan lebih dari satu kasus sehingga hal itu dapat dinamakan korespondensi fonemis.
Selain itu, kata tersebut dianggap berkerabat bila pasangan tersebut berkemiripan secara fonetis, yakni bila ciri-ciri fonetis dalam suatu kata harus cukup serupa sehingga dapat dianggap sebagai alofon.
Contoh:
Gloss Jawa Barat (Cimahi) Jawa Tengah (Kutoarjo)
cacing [caciŋ] [cacIŋ]
daging [dagiŋ] [dagIŋ]
darah [gәtih] [gәtIh]
dari ketiga kasus di atas dapat dilihat bahwa fonem /i/ pada suku kata terakhir di Jawa Barat (Cimahi) terucap dengan i tinggi [i] sementara di daerah Jawa Tengah (Kutoarjo) diucapkan dengan i rendah [I].
Selain ketiga ketentuan di atas, ada satu ketentuan lagi yang dapat menentukan sebuah pasangan kata tersebut termasuk ke dalam kata kerabat atau tidak. Ketentuan tersebut, yakni bila hanya ada satu fonem yang berbeda.
Contoh:
Gloss Bangka Belitung (Toboali) Aceh (Lhokseumawe)
baru [baru] [baro]
bunuh [bunuh] [bunoh]
Kata baru di daerah Bangka Belitung (Toboali) diucapkan dengan sebutan [baru] sementara di daerah Aceh (Lhokseumawe) diucapkan dengan sebutan [baro], dengan demikian dapat dilihat bahwa ada satu fonem berbeda di antara penyebutan kata baru tersebut oleh kedua daerah itu (antara fonem /u/ dan /o/). Begitu pula halnya dengan kata bunuh yang diucapkan [bunuh] oleh daerah Bangka Belitung (Toboali) dan diucapkan [bunoh] oleh daerah Aceh (Lhokseumawe).
Adapun untuk lebih rincinya, kekerabatan kata-kata dari ketujuh bahasa daerah tersebut dapat dilihat dalam lampiran makalah ini yang ditampilkan dalam bentuk tabel. Tanda positif (+) untuk menunjukkan kata-kata yang berkerabat, tanda negatif (-) untuk menunjukkan kata-kata yang nonkerabat, dan tanda kosong (0) untuk menunjukkan kata-kata yang tidak diperhitungkan, yakni kata-kata yang tidak memiliki padanan kata dalam bahasa daerah tertentu atau kata-kata yang diperoleh dari bahasa lain (kata-kata pinjaman).
Sementara dalam menentukan kekerabatan suatu bahasa, kita mengenal istilah metode leksikostatistik. Metode leksikostatistik ini salah satunya berfungsi untuk mengadakan pengelompokan bahasa-bahasa kerabat. Bahasa-bahasa yang memperlihatkan prosentase kekerabatan yang tinggi merupakan kelompok yang lebih dekat keanggotaannya, sedangkan yang prosentase kekerabatannya kecil saja merupakan bahasa yang agak jauh kekerabatannya dan termasuk dalam kelompok yang lebih besar (Keraf, 1996: 134).
Adapun dengan mempergunakan dasar-dasar leksikostatistik, Morris Swadesh—penyusun 200 kosakata dasar—mengusulkan suatu klasifikasi untuk menetapkan kapan dua bahasa disebut dialek, kapan sekelompok bahasa disebut keluarga bahasa (Language Family), bilamana sekelompok bahasa termasuk rumpun bahasa (stock) dan sebagainya. Klasifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Klasifikasi Kekerabatan Bahasa
Tingkatan bahasa | Prosentase kata kerabat (%) |
Bahasa (Language) Keluarga (Family) Rumpun (Stock) Mikrofilum Mesofilum Makrofilum | 100—81 81—36 36—12 12—4 4—1 1—kurang dari 1% |
Klasifikasi Swadesh seperti dikemukakan di atas hanya berlaku sebagai dasar atau patokan. Yang akan dicapai dengan metode ini adalah klasifikasi nyata atas bahasa-bahasa kerabat sehingga jelas bagaimana kedudukan atau hubungan antara bahasa-bahasa itu satu sama lain. Untuk maksud tersebut akan dikemukakan di sini klasifikasi antara beberapa bahasa di Nusantara, seperti yang terdapat di Bangka Belitung desa Toboali, Aceh desa Lhokseumawe, Jawa Barat desa Cimahi, Jawa Tengah desa Kotoarjo, Pontianak desa Saigon, dan Alor desa Pura dan desa Adang. Untuk melihat prosedur pengelompokannya, pertama akan dilihat distribusi prosentase kekerabatan antara bahasa-bahasa tersebut, baru kemudian disajikan bagaimana pengelompokan bahasa-bahasa itu dengan data-data tersebut.
Distribusi Prosentase Kata-kata Kerabat
_(+)__x100 100-(0) | I | II | III | IV | V | VI | VII |
I | — | 58,59% | 55,56% | 45,45% | 85,71% | 16,33% | 9,09% |
II | — | — | 44% | 36% | 60,61% | 13,13% | 11% |
III | — | — | — | 44% | 52,53% | 18,18% | 16% |
IV | — | — | — | — | 43.43% | 16,16% | 12% |
V | — | — | — | — | — | 14,14% | 12% |
VI | — | — | — | — | — | — | 49,49% |
VII | — | — | — | — | — | — | — |
Keterangan
I = Bangka Belitung (Toboali); II = Aceh (Lhokseumawe); III = Jawa Barat (Cimahi); IV = Jawa Tengah (Kutoarjo); V = Pontianak (Saigon); VI = Alor (Pura); VII = Alor (Adang)
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa prosentase kata kerabat yang terbesar adalah antara Bangka Belitung (Toboali) dan Pontianak (Saigon) yaitu sebesar 85,71% sehingga dari kedua daerah tersebut langsung ditarik garis yang menghubungkan kedua daerah tersebut. Selanjutnya, prosentase terbesar kedua adalah antara Aceh (Lhokseumawe) dan Pontianak (Saigon) yaitu sebesar 60,61% sehingga dari Aceh (Lhokseumawe) langsung ditarik garis yang telah menghubungkan ke garis Bangka Belitung (Toboali) dan Pontianak (Saigon) sehingga menghasikan rata-rata sebesar 59,6% (yaitu dari 60,61% + 58,59% dibagi 2).
Selanjutnya, prosentase terbesar ketiga adalah antara Bangka Belitung (Toboali) dan Aceh (Lhokseumawe) yaitu sebesar 58,59%, namun pada garis yang menghubungkan antara Aceh (Lhokseumawe) dan Bangka Belitung (Toboali) sudah diwakili oleh garis yang menghubungkan Aceh (Lhokseumawe) dengan Pontianak (Saigon) sehingga tidak perlu dibuat garis hubung lagi.
Sementara itu, daerah Jawa Barat (Cimahi) lebih dekat pula ke daerah Bangka Belitung (Toboali) mengingat jumlah prosentasenya yang cukup besar dengan daerah tersebut, yakni sebesar 55,56% sehingga daerah Jawa Barat (Cimahi) langsung dihubungkan ke garis yang telah menghubungkan Bangka Belitung (Toboali) dengan Pontianak (Saigon), Pontianak (Saigon) dengan Aceh (Lhokseumawe), dan Aceh (Lhokseumawe) dengan Bangka Belitung (Toboali). Dari perhubungan garis-garis tersebut diperoleh rata-rata sebesar 50,69% (yaitu dari 44% + 52,53% + 55,56% dibagi 3).
Selanjutnya, diperoleh hasil prosentase terbesar keenam, yakni antara Jawa Tengah (Kutoarjo) dan Bangka Belitung (Toboali) yaitu sebesar 45,45% sehingga dari Jawa Tengah (Kutoarjo) ditarik garis yang telah menghubungkan ke garis Bangka Belitung (Toboali) dengan Pontianak (Saigon), daerah Pontianak (Saigon) dengan Aceh (Lhokseumawe), dan daerah Aceh (Lhokseumawe) dengan Bangka Belitung (Toboali), Bangka Belitung (Toboali) dengan Jawa Barat (Cimahi), Jawa Barat (Cimahi) dengan Pontianak (Saigon), dan Jawa Barat (Cimahi) dengan Aceh (Lhokseumawe) sehingga diperoleh rata-rata sebesar 42,22% (yaitu dari 44% + 36% + 43,43% + 45,45% dibagi 4)
Sementara itu, Alor (Pura) hubungannya lebih dekat dengan Alor (Adang) karena jumlah prosentasenya sebesar 49,49%. Jika Alor (Pura) dihubungkan dengan kelompok pertama, yakni kelompok yang menghubungkan daerah-daerah, seperti Bangka Belitung (Toboali), Aceh (Lhokseumawe), Jawa Barat (Cimahi), Jawa Tengah (Kutoarjo), dan Pontianak (Saigon) prosentasenya hanya sebesar 15,59% (yaitu dari 16,33% + 13,13% + 18,18% + 16,16% + 14,14% dibagi 5). Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa Alor (Pura) lebih dekat kekerabatannya dengan Alor (Adang) dibanding dengan kelompok yang pertama tersebut sehingga dalam hal ini Alor (Pura) membentuk kelompok sendiri dengan Alor (Adang) sebagai kelompok kedua.
Dengan demikian, akhirnya kedua kelompok itu dapat dipertalikan/dihubungkan menjadi satu kerabat dengan rata-rata sebesar 34,82% (yaitu dari % kata kerabat antara kelima bahasa dalam kelompok pertama dengan dua bahasa dalam kelompok kedua).
Dengan memadukan prosentase kerabat, klasifikasi menurut Swadesh, dan garis pencabangan (silsilah, Stammbaum) maka dapat disusun bagan sebagai berikut.
Bagan Kekerabatan Bahasa berdasarkan Garis Pencabangan/Silsilah Stammbaum
Prosentase kerabat | Pengelompokan 7 bahasa di Nusantara (silsilahnya) | Status bahasa |
10 – 20 – 30 – 40 – 50 – 60 – 70 – 80 – 90 – 100 – | ------------------------------------------------------ O O O O O O O | bahasa dan keluarga bahasa ---------81%---------- dialek |
I V II III IV VI VII |
Dengan demikian dapat dilihat bahwa antara bahasa daerah Bangka Belitung (Toboali) dan Pontianak (Saigon) hanyalah merupakan dua dialek yang berbeda dari satu bahasa atau keluarga bahasa yang sama karena tingkat kekerabatan bahasa keduanya sangat tinggi, yakni sebesar 85,71%. Sementara, antara Aceh (Lhokseumawe), Jawa Barat (Cimahi), Jawa Tengah (Kutoarjo), Alor (Pura), dan Alor (Adang) masing-masing merupakan bahasa atau keluarga bahasa yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena tingkat kekerabatan bahasa di antaranya hanya kecil saja, yakni di bawah 81%. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa di antara bahasa-bahasa di daerah Bangka Belitung desa Toboali, Aceh desa Lhokseumawe, Jawa Barat desa Cimahi, Jawa Tengah desa Kotoarjo, Pontianak desa Saigon, dan Alor desa Pura dan desa Adang terdapat enam bahasa berbeda dengan satu bahasa yang memiliki dua dialek.
Adapun untuk melihat hubungan kata-kata kerabat yang terjadi di antara ketujuh bahasa di atas akan dijelaskan secara rinci pada uraian di bawah ini dengan berbagai aspek yang melatarinya, yakni korespondensi fonemis, perubahan bunyi, dan deskripsi situasi kata-kata tersebut.
Daftar Pustaka
Astar, Hidayatul. 2002. Kosakata Dasar Swadesh di Kotamadya Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Keraf, Gorys.1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wawancara konsultan bahasa
- Bangka Belitung (Toboali) Bapak Rosihan
- Aceh (Lhokseumawe) Ibu Rosda
- Jawa Barat (Cimahi) Ibu Rytha Erliasih
- Jawa Tengah (Kutoarjo) Ibu Sri Maryatun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar